Human trafficking merupakan salah satu kejahatan di
dunia di mana banyak sekali negara mengalaminya, tidak terkecuali
Indonesia. Bahkan pengiriman Tenaga Kerja Wanita banyak yang dijadikan
modus dalam melakukan kejahatan ini. Sebuah data rilis resmi Departemen
Luar Negeri Amerika Serikat tahun 2010 yang lalu mengungkap secara jelas
posisi Indonesia dalam human trafficking ini.
Saat ini Indonesia sudah meningkat posisinya ke tier 2, posisi yang lebih baik dibandingkan tahun 2001 dimana berada di posisi tier 3. Tier 2 adalah negara-negara yang pemerintahannya tidak sepenuhnya memenuhi standar minimum TVPA (Trafficking Victims Protection Act’s ), tetapi telah membuat upaya yang signifikan untuk membawa diri menjadi sesuai dengan standar-standar minimum tersebut.Artinya negara tersebut menunjukkan progress dalam standar Trafficking Victims Protection Act’s. Tier 3 adalah negara-negara yang pemerintahannya tidak sepenuhnya memenuhi standar minimumTVPA dan tidak melakukan upaya yang signifikan untuk melakukannya. Negara-negara yang termasuk ke dalam tier 3 ini antara lain Myanmar, Congo, Sudan dan banyak lainnya. Daftar sebagian negara dapat dilihat berikut ini.
Dari laporan yang dirilis Departemen Luar Negeri AS tersebut terdapat banyak hal menarik tentang kondisi human trafficking di Indonesia. Indonesia merupakan negara sumber utama human trafficking dan negara tujuan dan transit bagi perempuan, anak-anak, dan orang-orang yang menjadi sasaran human trafficking, khususnya prostitusi paksa dan kerja paksa. Masing-masing dari 33 propinsi di Indonesia merupakan sumber dan tujuan perdagangan manusia, dengan sumber yang paling signifikan, yaitu Pulau Jawa, Kalimantan Barat, Lampung, Sumatera Utara, dan Sumatera Selatan.
Sebagian besar buruh migran Indonesia menghadapi kondisi kerja paksa dan perbudakan utang (dipaksa bekerja karena memiliki utang) di negara Asia yang lebih maju dan Timur Tengah, khususnya Malaysia, Saudi Arabia, Singapura, Jepang, Kuwait, Suriah, dan Irak. Selama tahun ini, jumlah warga Indonesia yang mencari bekerja di luar negeri mencapai angka tertinggi. Diperkirakan 6,5 juta sampai 9 juta pekerja migran Indonesia di seluruh dunia, termasuk 2,6 juta di Malaysia dan 1,8 juta di Timur Tengah.
Diperkirakan 69% dari seluruh tenaga kerja Indonesia yang bekerja di luar negeri adalah perempuan dan lebih dari 50% dari tenaga kerja Indonesia yang bekerja di luar negeri adalah anak-anak. LSM Migran Care Indonesia memperkirakan bahwa 43% atau sekitar 3 juta dari tenaga kerja Indonesia di luar negeri tersebut adalah korban human trafficking. Catatan lain dari sebuah LSM yang cukup disegani menyatakan bahwa jumlah perempuan Indonesia yang diperkosa sambil bekerja sebagai PRT di Timur Tengah terus meningkat.
Menurut IOM, perekrut tenaga kerja atau agen, baik legal maupun ilegal, bertanggung jawab untuk lebih dari 50% pekerja perempuan Indonesia yang mengalami kondisihuman trafficking di negara tujuan.
Perempuan Indonesia yang bermigrasi ke Malaysia, Singapura, dan Timur Tengah banyak mengalami prostitusi paksa, mereka juga mengalami, baik prostitusi paksa maupun kerja paksa bahkan di Indonesia sendiri. Anak-anak diperdagangkan di dalam negeri dan luar negeri terutama untuk pembantu rumah tangga, pelacuran paksa, dan cottage industry (industri berbasis rumah tangga skala kecil). Banyak dari gadis-gadis ini diperdagangkan bekerja 14-16 jam per hari dengan upah yang sangat rendah, sering di bawah utang abadi berupa uang muka yang sebelumnya telah diberikan kepada keluarga mereka di Indonesia oleh broker.
Utang perbudakan (menjadi korban human trafficking karena berutang) sangat menonjol di antara korban perdagangan seks, dengan utang awal 600 dollar AS sampai 1.200 dollar AS yang dikenakan pada korban, jumlah ini kemudian ditambahkan dengan akumulasi biaya tambahan dan utang sehingga hal ini menyebakan perempuan dan anak perempuan seringkali tidak dapat melarikan diri dari perbudakan utang, bahkan setelah bertahun-tahun dalam perdagangan seks.
Berbagai cara dipakai trafficker untuk menarik dan mengontrol korban, termasuk janji-janji pekerjaan dengan gaji yang tinggi, jeratan utang, tekanan masyarakat dan keluarga, ancaman kekerasan, perkosaan, pernikahan palsu, dan penyitaan paspor. Tren lanjutan adalah melakukan penculikan untuk prostitusi paksa dalam perdagangan seks di Malaysia dan Timur Tengah.
Tren yang lebih baru diidentifikasi oleh polisi adalah perekrutan buruh migran Indonesia di Malaysia untuk umrah ke Mekah, setelah sampai di Saudi mereka diperdagangkan ke titik lain di Timur Tengah. Di tahun 2010 trafficker uga menggunakani internet terutama social networking seperti Facebook untuk merekrut korban, terutama anak-anak untuk perdagangan seks. Beberapa perempuan asing dari daratan Cina, Thailand, Asia Tengah, dan Eropa Timur menjadi korban perdagangan seks di Indonesia.
Tidak hal itu saja tentunya, menurut laporan yang sama, internel trafficking (trafficking dalam negeri) merupakan masalah yang signifikan juga di Indonesia. Banyak perempuan dan anak perempuan dieksploitasi di dalam perbudakan domestik (sebagai pembantu rumah tangga), eksploitasi seksual komersial, pertanian pedesaan, pertambangan, dan perikanan.
Banyak korban awalnya direkrut dengan menawarkan pekerjaan di restoran, pabrik, atau sebagai pekerja rumah tangga sebelum mereka dipaksa menjadi pelacur. Pariwisata seks anak merupakan sesuatu yang lazim di daerah perkotaan dan daerah tujuan wisata, seperti Pulau Bali dan Riau. Bahkan disinyalir ada trafficker yang menjalin kemitraan dengan para pejabat sekolah untuk merekrut laki-laki dan perempuan muda dalam program-program kejuruan untuk dipaksa menjadi tenaga kerja di kapal nelayan melalui kerja sama magang yang menipu.
Dengan masalah yang cukup berat tersebut mampukah pemerintahan Indonesia paling tidak mengurangi korban yang terus jatuh dalam kejahatan human trafficking ini? Laporan yang sama meragukan hal tersebut. Walapun Indonesia sudah memiliki Rencana Lima Tahun Anti-Trafficking, pemenjaraaan pelaku/ yang menjebloskan korban ke dalam sex trafficking dan labor trafficking yang terus meningkat jumlahnya, namun masalah besarnya belum terjamah dengan signifikan.
Hal ini karena pemerintah Indonesia tidak sepenuhnya mematuhi standar minimum penghapusan Human trafficking. Selain itu seperti diuraikan 50% bahkan lebih penyalur tenaga kerja bertanggung jawab terhadap terjadinya trafficking di negara tujuan. Nah sudah seharusnyalah pemerintah menginterogasi penyalur tenaga kerja resmi maupun yang ilegal tersebut.
Usaha ini tampaknya belum sepenuhnya dilakukan oleh pemerintah. Selain itu, reaksi yang lamban yang ditunjukkan oleh pihak kepolisian terhadap pengaduan trafficking juga ikut memperbanyak korban human trafficking ini. Tidak kalah pentingnya adalah korupsi di kalangan pejabat yang terlibat baik secara langsung maupun tidak langsung dalam kejahatan perdagangan manusia masih merajalela.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar